14 January 2008

Layanan PRIMA untuk SISWA

Layanan untuk siswa, kata-kata yang rasanya masih asing dan janggal. Sekolah sebagai institusi pendidikan belum memperhatikan hal ini sebagai sesuatu yang serius. Siswa adalah obyek dalam pendidikan sebagaimana pasir dan semen dalam membangun rumah. Sedangkan guru adalah subyek sebagaimana seorang tukang batu. Siswa seringkali diperlakukan layaknya pasir dan semen. Perhatikan saja kebijakan liburan sekolah untuk SMP di Purbalingga. Ketika siswa telah menyelesaikan Ulangan Umum Semester Pertama, libur baru diperoleh 3 minggu setelahnya. Pemberitahuannya pun mendadak dan dipaksakan. Inilah satu contoh perlakukan tak adil kita (para guru dan pemerintah) terhadap siswa.

Sekolah adalah surga belajar bagi siswa. Guru dan karyawan layaknya malaikat yang menyediakan segala kebutuhan siswa sehingga dapat merasakan nyaman berada di sekolah. Mungkin apabila kita survey, siswa tak bakal menjawab dia benar-benar merasakan bahagia ketika memasuki lingkungan sekolah. Justru rasa tak nyamanlah yang muncul. Tak pernah sekalipun siswa keberatan jika pada suatu hari siswa harus dipulangkan lebih cepat. Hari libur selalu menjadi hari yang dinantikan. Inilah yang memunculkan pendapat sekolah saat ini adalah neraka bagi siswa. Pendapat ini terdengar ekstrim tapi sungguh sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
Respon siswa terhadap sekolah "neraka" beragam. Bagi siswa yang mempunyai keberanian, mereka cenderung untuk minggat atau tidak berangkat tanpa keterangan. Bagi siswa yang "ciut nyalinya", mereka cenderung memilih untuk tetap masuk sekolah tapi dengan ekspresi-ekspresi negatifnya. Celakanya bagi yang sama sekali tak bernyali, mereka menjadi penyendiri dan terkena depresi. Untunglah masih ada siswa yang mampu beradaptasi sehingga mereka mampu bertahan dan seolah-olah akan mengikuti segala aturan sekolah. Tak dipungkiri lagi belajar di sekolah menjadi sesuatu yang terdengar berat dan melelahkan.
Tembok pagar sekolah yang menjulang merupakan tembok pengekangan. Siswa tak perlu tembok tinggi untuk dapat bertahan di sekolah. Mereka tidak memerlukan sentuhan penjara. Mereka memerlukan motivasi dan semangat untuk maju dan berkembang di sekolah. Sayangnya pagar sekolah yang tinggi menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dibangun. Selain itu, terjadi over populasi di setiap kelas. Padahal semakin banyak siswa di satu kelas, semakin kecil porsi perhatian guru terhadap setiap siswa. Belum lagi ketika harus mengikuti kegiatan praktek. Sebuah percobaan IPA harus dilaksanakan berkelompok dengan 5-10 siswa sekaligus. Ketrampilan siswa secara menyeluruh tak bakal terasah dengan baik dengan model praktikum keroyokan.