29 December 2007

LHBS (Laporan Hanya Bikin Susah)

Sabtu (29/12/07), saya memulai hari pertama tugas di sekolah yang baru. Kegiatan pertama yang diikuti adalah mengawasi UUS. Setelah itu, rapat guru dimulai tepat setelah UUS selesai. Inilah rapat perdana yang saya ikuti. Pembahasan pertama adalah pengisian LHBS. Konon kabarnya LHBS itu singkatan dari Laporan Hasil Belajar Siswa atau lebih singkatnya disebut raport. LHBS KTSP begitu rumitnya sampai-sampai saya juluki sesuai judul tulisan. Setiap nilai kompetensi harus dicantumkan dalam LHBS. Coba bayangkan apabila dalam satu semester ada 5 kompetensi x 10 mata pelajaran. Berat sekali tugas seorang wali kelas yang harus menulis 50 nilai KKM, 50 nilai angka dan 50 nilai huruf. Apabila terdapat 40 siswa, seorang wali kelas menulis sebanyak 6000 item. Waktu yang diperlukan untuk menulis per item bisa mencapai 15 detik maka diperlukan sebanyak 1500 menit atau 25 jam untuk menyelesaikan LHBS satu kelas. Ini adalah pekerjaan yang berat tetapi sia-sia.

Kenapa saya menganggap model LHBS sekarang adalah pekerjaan sia-sia. Pertama, siswa tidak akan terbantu dengan pencantuman nilai setiap kompetensi. Siswa lebih menyukai nilai tunggal untuk satu mata pelajaran. Mereka belum mampu menganalisis hasil yang dia peroleh dengan melihat LHBS kecuali siswa yang bergelar profesor. Justru siswa akan mengalami kebingungan. Setali tiga uang dengan siswa. Para orang tua jelas tak bakal terbantu dalam memahami perkembangan putra/putrinya. Mereka juga cenderung tidak akan paham dengan laporan penilaian seperti ini.
Penilaian di Indonesia menjadi hal pokok dalam pendidikan. Nilai menjadi sebuah kebanggaan yang menyebabkan seseorang memperoleh status yang lebih tinggi dibanding orang lain. Nilai juga bisa menjadi teror bagi seseorang untuk melakukan pembelajaran dengan lebih intensif. Model yang sedang dikembangkan pemerintah adalah menjadikan nilai sebagai bom untuk meneror. Lihatlah standar kelulusan dalam UN yang selalu ditingkatkan. Inilah teror yang dikembangkan oleh pemerintah untuk menekan guru dan siswa agar seolah-olah terjadi peningkatan nilai yang diasumsikan sebagai peningkatan kualitas pendidikan.
Sungguh kasihan siswa di Indonesia yang harus mengejar nilai KKM ataupun standar kelulusan. Apabila gagal mereka akan menjadi generasi kalah yang terus menanggung rasa frustasi, sedangkan bagi yang berhasil mereka akan mengganggap lulus sebagai bagian dari pintu keluar dari sebuah kawah candradimuka. Akhirnya siswa di Indonesia akan alergi dengan kata belajar.
Penilaian hanyalah alat bukan tujuan akhir sebuah pendidikan. Contohnya, kondisi sektor pertanian yang perkembangannya kalah dengan Thailand. Padahal setiap tahunnya ratusan sarjana pertanian lulus dengan predikat cum laude. Seorang sarjana pertanian yang cum laude tidak serta merta akan terjun ke dunia pertanian dengan menjadi petani profesional. Justru malah teman saya yang Drop Out dari fakultas pertanian terus berjuang di sektor ini.
Kesimpulannya, LHBS KTSP hanyalah wujud kreativitas yang tak bermanfaat. Kembalikan model penilaian seperti kurikulum 1994. Ringan, mudah dicerna dan sederhana. Waktu yang digunakan oleh guru sebaiknya digunakan untuk menambah pengetahuan melalui kegiatan seminar, MGMP, membuat karya ilmiah serta membaca buku. Bukan sekedar pusing menghitung nilai dan mengadakan ulangan/remidi.

Komentar model Banyumasan : Aja Kakehan Sengek !