09 October 2007

Madrasah Vs Sekolah

Kedua lembaga ini sama-sama menjadi tulang punggung pendidikan nasional. Sayangnya masih ada persaingan yang tidak lazim antara keduanya. Ibarat sebuah ajang peperangan, madrasah selalu kehabisan amunisi untuk sekedar bertahan. Ironisnya sekolah mendapatkan lebih banyak amunisi dan persenjataan mutakhir dibandingkan madrasah. Lucunya banyak madrasah yang masih bertahan ketika beberapa sekolah (SD) tumbang tak berdaya. Sekedar "berperang" bukan berarti untuk saling mematikan. Ungkapan ini lebih mengarah pada fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan).

Sekolah merupakan produk Depdiknas sedangkan madrasah adalah produk Depag. Kedua lembaga ini ditengarai timpang dalam masalah anggaran pendidikan. Buktinya kita bisa melihat betapa "menterengnya" bangunan SMP/SMA negeri. Sebaliknya betapa terseok-seoknya ratusan madrasah hanya untuk membayar gaji guru dan karyawannya. Karakter utama sekolah di mata masyarakat adalah lembaga yang menjamin adanya mutu pendidikan yang lebih baik sedangkan madrasah diperuntukkan bagi calon siswa yang kurang beruntung. Saran seorang kepala MI ternyata juga mengarahkan para lulusan untuk melanjutkan ke sekolah negeri supaya MInya tidak dipandang sebelah mata hanya gara-gara tidak ada satupun lulusannya yang diterima di SMP negeri favorit.
Madrasah dibebani dengan persoalan internal yang tak kunjung habis. Beban berat dimulai dari tingginya tingkat pensiun pada guru PNS sehingga harus menanggung gaji guru honorer. Kebanyakan madrasah hanya memiliki satu atau dua orang guru PNS. Persoalan SDM bukan hanya gaji semata tapi juga merembet ke arah managemen SDM yang kurang profesional. Seorang guru honorer harus rela dipotong honor dari pemerintah daerah untuk biaya perjalanan dinas pejabat yang "merasa" berjasa atas diperolehnya honor tersebut. Ataupun harus memberikan sekedar "infaq" dan "uang terima kasih" atas kebaikan pejabat tertentu yang telah membuat dia mendapatkan honor dari pemerintah. Parahnya lagi bagi guru yang ditunjuk mengikuti sertifikasi. Tiap guru diminta dana ratusan ribu rupiah untuk biaya lain-lain bagi pengurusan sertifikasi. Hal ini disahkan dengan adanya guru yang malah menawarkan pemberian fee supaya tidak repot dalam pengurusan sertifikasi.
Persoalan internal lainnya adalah minimnya dana pengembangan madrasah dari pemerintah. Dana yang tersedia tak bisa membuat madrasah bisa mengejar ketertinggalan. Lihat saja di desa saya, madrasah mengajukan rehab ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya sedangkan sekolah yang mengajukan malah sekarang sudah selesai pembangunannya.
Ketertinggalan ini juga disebabkan lambatnya madrasah memperoleh informasi tentang kurikulum baru ataupun metode pengajaran baru yang digariskan pemerintah. Maklum saja, informasi harus melalui Departemen Agama sebelum masuk ke madrasah.
Kekalahan telak madrasah dari berbagai sisi managemen bukan berarti membuat madrasah akan tenggelam. Justru membuat madrasah harus semakin bersemangat mengejar ketertinggalan karena bukan tidak mungkin jalan yang dipilih sekolah adalah jalan yang benar dan tepat. Sekolah Standar Nasional dan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional telah menuai kritik tajam dari pemerhati pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan di sekolah (negeri) pun bisa dijadikan pelajaran yang berharga untuk tidak berbuat serupa.
Ingat madrasah tak harus mahal tapi menjadi berkualitas adalah sebuah keharusan.

1 comment:

Anonymous said...

kami sangat bangga dengan madrasah anda yang dari visual blog anda sangat exciting. madrasah dengan karakteristik agama yang mempunyai pandangan positif terhadap teknologi merupakan "kewajiban" yang harus didukung. kami dari mts negeri malang dua sebenarnya ingin mengunjungi anda untuk melakukan komunikasi secara digital. silahkan kirim email ke :
mtsnmalang2@yahoo.com
atau di blog kami
mtsnmalang2.blogspot.com

atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
assalamualaikum wr wb